Baginda Mangaraja Enda, anak keempat dari Sutan Diaru menjadi Raja untuk wilayah Penyabungan. Beliau mengikuti carah ayahnya memerintah, yakni menghunjuk anak-anaknya menjadi Pembantu Wilayah, sebagai berikut :
a. Seorang untuk wilayah Mompang.
b. Seorang untuk wilayah Padang Garugur.
c. Seorang untuk wilayah Tangga Bosi.
d. Seorang untuk wilayah Huraba.
Demikian juga kerajaan-kerajaan lainnya yakni Huta Siantar, Pidoli Dolok, Singengu dan Lumban Kuayan. Kerajaan besar yang tadinya diperintah oleh seorang Raja pada zaman Sutan Diaru, sekarang terpecah-pecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil. Kerajaan yang sudah demikian kecilnya, sehingga setiap raja hanya memerintah sebuah kampung saja. Tidak jarang pula terjadi pertentangan antara kerajaan (kampung) yang satu dengan kerajaan (kampung) yang lain.
Wilayah Padang Garugur diperintah oleh Mangaraja Padang Garugur. Tetapi kendali pemerintahan dipegang oleh Isterinya. Karena itu sering dikatakan orang Padang Garugur Raja Perempuan. Keturunannya dinamakan orang Nasution Padang Garugur Keturunan Raja Perempuan.
Mangaraja Padang Garugur terlalu patuh akan kata-kata isterinya. Hal ini menyebabkan Raja-raja yang lainnya sering kurang cocok dengan Mangaraja Padang Garugur. Pertentangan kecil lama kelamaan menjadi besar sehingga pada akhirnya menimbulkan perang saudara. Kurang jelas bagi penulis apakah Mompang yang menjadi lawan atau Tangga Bosi.
Dalam perang saudara ini, Padang Garugur yang selalu diserang, karena pada dasarnya Mangaraja Padang Garugur tidak suka perang. Selalu diusahakan agar jangan sampai berhadapan frontal. Apabila diketahuinya pihak lawan datang menyerang, maka diperintahkannya agar semua rakyat mengungsi.
Demikianlah pada suatu ketika dia menerima laporan dari pembantunya bahwa kerajaannya akan diserang. Dengan segera dia memerintahkan agar semua rakyat mengungsi untuk beberapa hari lamanya pergi meninggalkan kampung sambil membuka perladangan yang baru.
Melihat kampung yang kosong, pihak musuh kesal bercampur marah dan seketika itu pihak musuh membakar kampung itu. Padang Garugur dibumi-hanguskan oleh pihak musuh. Demikianlah kejamnya perang saudara kali ini.
Ketika pulang dari perladangan, mereka hanya menemukan runtuhan rumah yang sebahagian besar sudah menjadi abu dan arang. Kerajaan ditimpa musibah kesedihan yang menyayat hati. Rakyat mengalami kelaparan karena semua yang ditinggalkan sudah habis binasa. Maka diadakanlah musyawarah, kira-kira langkah apa yang akan ditempuh. Mangaraja Padang Garugur sudah merasa tidak mampu lagi untuk memegang pemerintahan, apalagi karena umurnya sudah lanjut, maka diserahkan kepada anaknya bernama Sutan Gaja Maimahon.
Raja baru Sutan Gaja Maimahon memimpin musyawarah. Hasil musyawarah memutuskan bahwa tidak ada gunanya meneruskan perang karena yang diperangi adalah saudara sendiri, apalagi kekuatan sudah demikian lumpuh. Lebih baik Padang Garugur ditinggalkan untuk mencari daerah dan tanah yang baru dan lebih subur daripada hidup miskin dan selalu mendapat ancaman perang. Maka bulatlah tekad untuk meninggalkan Padang Garugur.
Berangkatlah rombongan pengungsi melalui hutan belantara, berjalan sambil mencari makanan. Perjalanan demikian panjangnya. Negeri dan tanah yang dituju belum pasti. Dalam hati mereka berharap kiranya tanah yang diperoleh nantinya hendaknya subur dan jauh dari jangkauan musuh. Akhirnya sampailah mereka disuatu daerah yang mereka anggap sudah cukup baik dan jauh dari musuh, daerah tersebut disekitar Dalu-dalu / Pasir Pangarayan sekarang. Inilah tanah yang mereka pilih dan di daerah ini mereka bermaksud untuk menetap dan mendirikan kerajaan baru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar