Halaman

Rabu, 16 November 2011

IV PENUTUP

Diceritakan kembali Oleh H. Muhammad Djafar Nasution, BA
  
Sejarah yang disampaikan dengan lisan secara estafet ini, cenderung menjadi legenda atau dongeng. Karena selain dari pada inti sejarahnya dapat berubah, baik pelaku dan tanggal kejadiannya sudah banyak terlupakan. Kebenaran sejarahnya menjadi sukar untuk dipertanggung-jawabkan ditambah lagi manusia sebagai sumbernya sudah tidak diketemukan lagi.
Sejarah atau asal usul suku (marga) baik di Tapanuli Selatan maupun Tapanuli Utara dan daerah lainnya tidak luput dari kejadian diatas, ini diakibatkan karena nenek moyang kita masih belum pandai tulis baca. Namun demikian tidak kurang pentingnya mentransfer sejarah dalam bentuk lisan ini kedalam sejarah dalam bentuk tertulis, karena apabila tulisan-tulisan yang dihasilkan ini dikemudian hari diperbandingkan satu dengan lainnya tentu akan menghasilkan penelitian yang lebih dapat dipertanggung-jawabkan. Selain dari pada itu, bila sama sekali tidak ditransfer ke bentuk tulisan tentu lambat laun sejarah itu akan hilang sama sekali.
Bertolak dari pemikiran ini maka hasrat penulis sendiri timbul untuk menulis silsilah Nasution Padang Garugur ini, dimana penulis sendiri adalah keturunannya. Dengan demikian penulis sadar bahwa tulisan ini banyak kekurangannya, bahkan kemungkinan besar banyak kesalahannya. Karena itu penulis selalu bersedia untuk melakukan diskusi mengenai hal ini untuk lebih dekatnya kepada sejarah yang sebenarnya.
Mengakhiri tulisan ini, tidak lupa penulis menyampaikan harapan yang sebesar-besarnya kepada para orang tua dari Marga Nasution seluruhnya, baik dia dari Nasution Padang Garugur, Nasution Huta Siantar dan lainnya, kiranya mencoba menulis sejarah sebatas yang diketahuinya yang diperoleh dari cerita lisan secara turun temurun, agar bahan perbandingan berupa sumber sejarah lebih banyak sehingga lebih dapat dipertanggung-jawabkan.
Akhirul kalam, penulis tidak lupa meminta maaf kepada segala pihak yang mungkin merasa tersinggung atau mungkin merasa seperti ada kekurangan fakta akan ceritanya, karena semuanya ini adalah berdasarkan ingatan penulis dari cerita-cerita yang dikumpulkan penulis selama ini.
Semoga Allah Subhanahu Wa Taala mengampuni kita sekalian, bila kita salah atau lupa.



Medan, November 2011

III. 4. PERPISAHAN DI SIBORONG-BORONG – SIOLIP.

Diceritakan kembali Oleh H. Muhammad Djafar Nasution, BA

 Perang masih berkelanjutan. Kini musuh bukan teman sesuku (marga) saja tetapi juga dari marga lain termasuk marga Hasibuan. Perang sudah bukan perang saudara saja tetapi sudah berobah menjadi perang untuk perebutan wilayah.
Dalam suasana perang seperti ini pasukan menjadi kucar-kacir  sehingga sebahagian Nasution Padang Garugur ini lari ke arah barat menuju ke Barumun untuk menghindarkan diri dari peperangan yang terus berkecamuk. Mereka lupa akan perjanjian Bulu Simaroung-oung, yang mengatakan jangan lari atau pergi ke arah barat. Mereka mencari tempat yang aman dari perang dan subur buat pertanian. Mereka memilih tempat di Handis karena tanah dan pengairannya cukup baik untuk pertanian. Bertahun-tahun mereka tinggal di daerah ini, namun pada akhirnya mereka tinggalkan juga. Mereka pindah lagi mencari tempat perkampungan yang lebih sesuai, dengan maksud untuk membangun perkampungan sendiri dan mempunyai pemerintahan sendiri. Selanjutnya mereka pindah kearah utara yaitu ke Siborong-borong Siolip.
Bulatlah musyawarah mereka untuk tinggal menetap di Siborong-borong Siolip ini untuk mendirikan kampung sendiri. Melihat hal ini Raja-raja Hasibuan dari Siolip, Hasahatan Jae dan Paringgonan merasa kurang senang, mereka takut kalau ada marga lain yang mempunyai kekuatan yang besar, yang mungkin akan mengganggu mereka di kemudian hari. Namun demikian Raja-raja Hasibuan ini tidak bertindak untuk memerangi mereka, Raja-raja Hasibuan ini mendatangi mereka untuk bermusyawarah dengan mengatakan :
“Apa gunanya kamu mendirikan kampung sendiri. Kamu masih terlalu sedikit untuk membentuk kerajaan sendiri. Sebaiknya kamu bergabung saja dengan kami. Di kampung (kerajaan) kami, kami masih memerlukan pembantu-pembantu kami, untuk itu jika kamu bersedia bergabung dengan kami, kamu akan kami angkat menjadi Anak Boru kami untuk memegang jabatan Kepala Ripe Pembantu Raja.”
Siasat Raja Hasibuan ini berhasil, karena hampir semua pihak dari Nasution Padang Garugur ini bersedia bergabung dengan mereka. Satu pihak yang tidak bersedia untuk bergabung dan juga tidak menolak yaitu pihak Ja Leman, tetapi dalam musyawarah bersama antar keluarga dia mengatakan bahwa dia tidak bersedia bergabung dengan Raja Hasibuan tersebut. Lalu sebelum ada ketentuan siapa yang akan ke Siolip, siapa yang ke Hasahatan Jae dan siapa yang ke Paringgonan, Ja Leman secara diam-diam kembali ke perkampungan mereka semula yaitu Handis. Mulailah keluarga Nasution ini berpisah-pisah. Pihak Raja Hasibuan membiarkan saja pihak Ja Leman pergi ke Handis, dengan keyakinan bahwa Ja Leman tidak akan sanggup untuk mendirikan kerajaan sendiri.
Pihak Kali Mauli yang masih tinggal di Siborong-borong segera akan diatur oleh Kali Mauli sendiri bersama dengan anaknya Ja Badar untuk pindah dan bergabung dengan Hasibuan di Siolip. Ja Daud anak dari Kali Mauli pindah dan bergabung dengan Hasibuan di Hasahatan Jae dan Ja Gon-gonan anak Kali Mauli pindah dan bergabung dengan Hasibuan di Paringgonan. Hilanglah kekuatan Nasution Padang Garugur di Rura Barumun dengan peristiwa perpisahan di Siborong-borong ini.
Pihak Ja Leman sendiri mengalami kesukaran juga di Handis. Selain dari usaha pertanian yang kurang berhasil, keturunannya juga sangat sedkit. Anaknya Ja Nauli sudah mengambil kesimpulan untuk meninggalkan Handis, tetapi untuk memutuskan kemana pindahnya masih ragu, apakah dia ke Siolip, Hasahatan Jae atau ke Paringgonan. Akhirnya setelah mengadakan hubungan terlebih dahulu, maka dia memutuskan untuk pindah ke Hasahatan Jae.
Demikianlah sejarah masuknya Nasution Padang Garugur ke Hasahatan Jae, mulai dari tanah leluhurnya di Padang Garugur Penyabungan – Mandailing.