Halaman

Rabu, 16 November 2011

III. 3. PERJANJIAN BULU SIMAROUNG-OUNG.

Diceritakan kembali Oleh H. Muhammad Djafar Nasution, BA

Di daerah yang baru ini mereka mencoba untuk membangun kerajaan baru. Demikian juga perladangan, mereka telah mencari tanah yang sesuai. Tetapi rupanya musuh masih juga membuntuti mereka, pihak musuh masih belum puas kalau tidak langsung mengadakan perlawanan secara frontal.
Sutan Gaja Maimahon memerintahkan rakyatnya agar seorangpun jangan ada yang menyerah. Lebih baik mati berkalang tanah daripada menyerah ditawan musuh. Terjadilah perang saudara secara frontal. Tidak sedkit yang jatuh baik dipihak musuh maupun dipihak mereka. Kejar mengejar terus berlangsung, sehingga daerah perang berpindah ke perbatasan daerah Sosa yang ada sekarang.
Perang terus berkelanjutan. Berhenti satu hari, berperang dua hari. Dalam perang yang demikian akhirnya terjadi suatu perlawanan yang sengit. Sutan Gaja Maimahon Panglima Perang merasa sangat haus, kemudian dia pergi kesungai untuk minum. Sehabis minum air sungai dia jatuh tersungkur, tidak lama kemudian dia meninggal dunia. Ternyata air yang diminumnya tersebut adalah air yang sudah bercampur dengan darah, yaitu darah dari prajurit yang terluka dalam peperangan, sedangkan pantangan dari ilmu yang dimiliki beliau agar kebal adalah tidak boleh memakan / meminum darah.
Karena meninggalnya Sutan Gaja Maimahon, pasukan kehilangan komando. Sutan Gaja Maimahon dikebumikan beberapa hari kemudian, karena perlu dibawa ketempat yang lebih aman dari serangan musuh.
Panglima perang yang baru ditunjuk, musuh tidak mengetahui bahwa Sutan Gaja Maimahon sudah meninggal dunia. Musuh sudah kehilangan kekuatan karena sudah banyak dari prajurit mereka yang gugur. Sehingga secara otomatis perang untuk sementara terhenti. Pada kesempatan itu mereka mengadakan musyawarah besar atas pimpinan komandan perang yang baru. Mereka mencari tempat yang strategis, yaitu lokasi yang agak tinggi agar dapat memantau dari jauh kedatangan musuh yang akan menyerang mereka.
Sebelum musyawarah dimulai, mereka makan bersama. Makanan yang dimasak secara bersama-sama. Salah satu tungku masaknya mereka gunakan bambu yang masih muda. Sehabis makan bersama musyawarahpun dimulai. Pada musyawarah ini mereka memutuskan agar kekompakan dipertinggi lagi sehingga pasukan lebih tangguh untuk menghadapi musuh. Jangan sekali-kali ada perpecahan antara sesama mereka, jangan sekali-kali ada maksud untuk menyerah kepada musuh. Diakhir musyawarah tersebut, maka pimpinan musyawarah mengumumkan hasil musyawarah sebagai berikut :
“Berdasarkan keputusan musyawarah kita, kita semua yang hadir harus sepakat untuk menggalang persatuan. Kekompakan harus kita pertinggi, sehingga kita lebih tangguh dalam menghadapi musuh. Karena itu sekiranya kita diserang musuh, jangan sekali-kali ada diantara kita yang pergi atau lari ke arah barat dari tempat pertemuan kita ini. Bila ada diantara kita yang masih lari ke arah barat lalu hendak bemukim disana, maka nantinya tidak boleh mempunyai kedudukan yang tinggi atau terhormat, lebih-lebih tidak boleh menjadi Raja”
Mendengar ketegasan Panglima demikian, masih ada diantara hadirin yang mencoba untuk menyangkal : “Mana mungkin kalau ada yang kebarat, lalu tidak akan mendapat kedudukan yang tinggi atau terhormat atau tidak boleh menjadi Raja”
Maka Panglima segera menjawab : “Sebagai bukti, bahwa siapa yang akan pergi ke arah barat tidak akan mendapat kedudukan terhormat atau tidak akan menjadi Raja, mari kita tunggu sebentar bambu tungku masak kita ini. Bila bertunas sebentar lagi, ini bermakna ucapan saya benar, jika tidak bertunas bermakna ucapan saya tidak benar.”
Masing-masing yang hadir dengan serta merta melihat kearah tungku bambu yang dimaksud. Ternyata bambu itu segera bertunas seketika itu juga. Lalu Panglima segera memegang tungku bambu yang bertunas itu seraya memimpin ikrar bersama yang bunyinya :
            “Kami semuanya yang hadir dalam Musyawarah Besar ini berjanji dan berikrar akan senantiasa memelihara kekompakan diantara kami dan bersepakat jika ada serangan, maka kami semuanya tidak boleh ada yang lari ke arah barat. Bila diantara kami ada yang lari ke arah barat, hal ini akan menimbulkan perpecahan, masing-masing kami bersedia untuk menerima akibat dari perjanjian ini, yaitu tidak boleh memperoleh kedudukan yang terhormat lebih-lebih untuk menjadi Raja.”
Dengan selesainya pembacaan ikrar bersama ini, maka Musyawarah Besar ditutup oleh Pimpinan Musyawarah dan sebelum bubar hadirin saling bersalaman satu sama lain. Tungku bambu tadi dibiarkan runtuh, sehingga lama kelamaan rumpun bambu itu dinamakan orang Bulu Simaroung-oung karena sering berdengung bila dihembus oleh angn. Sampai sekarang bambu itu masih ada dan bertempat di suatu bukit (tor) tidak jauh dari Pasir Ampolu yang sekarang. Itulah sebabnya Musyawarah Besar ini kemudian dikenal dengan Perjanjian Bulu Simaroung-oung.
Selesai musyawarah beristirahat sebentar, tak lama kemudian dari kejauhan terlihat pasukan musuh datang menuju tempat mereka. Mereka sudah siap sedia menghadapi segala kemungkinan. Demikianlah dalam masa yang panjang perang tidak habis-habisnya silih berganti antara diserang dan menyerang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar