Halaman

Rabu, 16 November 2011

II. B. KELAHIRAN BAROAR

Diceritakan kembali Oleh H. Muhammad Djafar Nasution, BA

Setelah Baginda Raja beristeri muda, dari hari ke hari Permaisuri merasa perhatian Baginda berangsur-angsur berkurang kepadanya. Baginda semakin sering tidak berada di Istana bahkan tidak tidur di Istana, tetapi lebih banyak menghabiskan waktunya bersama isteri mudanya. Permaisuri berusaha benar untuk menahan rasa amarahnya terhadap Baginda, tetapi rasa cemburunya kepada isteri muda semakin menjadi-jadi. Semakin tak mau dia berjumpa dengan madunya itu bahkan menegur saja dia tidak mau.
Permaisuri merasa suaminya sudah dirampas orang. Rasa amarah bercampur benci kepada Baginda makin menjadi-jadi, apalagi bila dilihatnya Baginda Raja sedang bersama isteri mudanya. Memang selain daripada madunya ini umurnya jauh lebih muda dari dia, juga jauh lebih cantik dan pandai mengambil hati Baginda. Tidak heran jika Baginda jauh lebih suka bersama dengan isteri mudanya daripada bersama dengan permaisuri.
Demikianlah dari hari ke hari kerukunan  hidup antara Baginda Raja dengan Permaisuri berangsur-angsur berkurang. Ketenteraman istana makin berkurang. Permaisuri menganggap madunya itu sekarang sudah menjadi musuh utamanya. Dia berniat akan mengusir madunya itu bila datang ke Istana, bahkan bila situasi mengizinkan dia akan mengadakan penyerangan dan perlawanan. Dalam hatinya ingin benar dia agar madunya datang ke Istana sehingga dia dapat memukul serta mengusirnya.
Si Isteri muda juga sudah merasakan bahwa dia sudah dibenci oleh Permaisuri. Dia sudah mengusulkan kepada Baginda Raja agar bertindak adil kepada mereka. Dia mengatakan bahwa dia takut kalau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Dia takut kalau terjadi pertengkaran atau kegaduhan yang cukup memalukan Istana. Tetapi Baginda Raja tidak mengindahkan hal itu. Baginda tidak peduli apa yang akan terjadi, karena dia yakin semua persoalan pasti akan dapat diatasi. Baginda yakin Permaisuri akan selalu taat dan setia kepadanya, sehingga menurut pendapatnya permaisuri tidak akan mau berbuat sesuatu yang memalukan Istana.
Pada suatu hari, ketika peringatan hari jadi Baginda Raja, diadakanlah pesta besar di Istana, maka Isteri muda diajaklah datang ke Istana. Isteri muda ini mengatakan bahwa ada firasat yang mengatakan kurang baik jika ia ikut ke Istana, tetapi karena perasaannya juga mengatakan tidak baik kalau dia juga tidak hadir di Istana, apalagi Baginda Raja terus mendesak dan mengatakan dengan pasti bahwa tidak akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, maka si Isteri muda antara segan dengan tidak, dia harus juga hadir di Istana.
Permaisuri juga sudah menduga bahwa madunya pasti hadir di Istana untuk mengikuti Acara Besar Hari Jadi Baginda Raja. Dia sudah lama menantikan hari dan kesempatan baik ini, karena dia sudah lama merasa resah di Istana. Sudah banyak kawan karib, handai tolan serta famili dekatnya yang dimintakan ikut membantunya agar Baginda menceraikan madunya itu, tetapi secara tegas tidak ada yang bersedia. Namun demikian, salah seorang Menteri yang termasuk keluarga dekat permaisuri, membisikkan suatu cara kepada Permaisuri agar Baginda Raja bercerai dengan isteri mudanya. Cara itu cukup mantap di hati Permaisuri dan dia yakin benar bahwa cara ini pasti akan berhasil. Dia ingat benar saat madunya diajak oleh Baginda meninggalkan kampung halamannya nun di Hutan Belantara sana, diajak  ikut bersama rombongan ke Pagar Ruyung untuk kawin dengan Baginda Raja. Madunya hanya bersedia ikut dan bersedia menjadi Isteri Raja dengan satu syarat tertentu.
Hari yang ditunggu-tunggu, Pesta Besar Hari Jadi Baginda sudah tiba. Para undangan dari negeri yang jauh sudah berdatangan. Si Isteri muda yang punya firasat tidak baik turut mengikuti acara, tetapi merasa tidak wajar bila dia tidak berada di Istana sehingga dengan perasaan penuh bimbang dan ragu-ragu dia datang ke Istana. Begitu dia sampai, langsung mendapat serangan dari Permaisuri. Runtunan kata-kata makian dan sumpah serapah diterimanya, antara lain Permaisuri mengatakan :
“Jangan masuk ke Istana ini, kau benar-benar kurang ajar. Gara-gara engkaulah kerukunan di Istana menjadi hilang. Benarlah kau turunan Jin (begu), tidak sesuai dengan masyarakat manusia. Turun kau dari Istana ini. Tidak berhak kau menginjak Istana ini”.
Si Isteri muda diam tidak menjawab. Dalam hatinya dia mengaku bahwa sebenarnyalah dia jin, tetapi mengapa Permaisuri melanggar janji. Bukankah Permaisuri ikut juga dalam rombongan ketika dia diajak ikut bersama rombongan ke Pagar Ruyung ?



Dalam hati, si Isteri muda berfikir :
“ Baiklah, saya akan pergi sekarang juga. Istana ini bukan tempat saya. Manusia-manusia ini semuanya bukan keluarga saya. Saya adalah Jin dan harus kembali ke tengah-tengah masyarakat jin. Tetapi bagaimana dengan anak manusia yang sedang saya kandung dalam perut saya ini ?
Yah..., anak saya tidak bersalah dan saya juga tidak bersalah.
Yah ..., anak saya adalah anak yang baik, karena itu pasti akan diterima secara baik oleh masyarakat”.
Si Isteri muda mencari pengawal dan mendekatinya. Kepada Pengawal dia membisikkan :
“ Tolong sampaikan kepada Baginda Raja, suami saya. Permaisuri sudah melanggar janjinya kepada saya. Saya pergi bersama anak saya, meninggalkan Istana dan Kerajaan untuk selama-lamanya.”
Segera sesudah ucapannya habis, dia langsung menghilang. Pengawal jadi heran dan membisu seribu bahasa. Orang lain yang dekat dengan pengawal tersebut sempat mendengar ucapan itu, lalu menyuruh pengawal menyampaikannya kepada Baginda Raja. Begitu laporan sampai kepada Baginda Raja, Baginda langsung memerintahkan untuk melakukan pencarian.
Regu pencari bergerak ke segala arah, tetapi tidak kelihatan lagi. Akhirnya sampailah ke Perbatasan Kerajaan, arah datangnya dulu ada yang melaporkan bahwa ada seorang wanita cantik lari dengan cepat kearah hutan. Baginda Raja memerintahkan pencarian sampai dapat. Sehingga Pesta Hari Jadi yang seharusnya cukup khidmat menjadi Pesta Hari Mencari. Seluruh kerajaan diperintahkan melakukan pencarian.
Sesampainya regu pencari di Perbatasan, mereka sudah kehilangan pedoman ke arah mana selanjutnya dilakukan pencarian, tetapi kemudian mereka memperhatikan bahwa ditengah hutan tersebut ada bunga-bunga yang seolah-olah ditanam berjajar. Ternyata ketika datang setahun yang lalu, anak Gadis itu secara terus menerus menaburkan bunga yang dipetiknya sepanjang jalan, mulai dari kampung halamannya sampai ke Kerajaan Pagar Ruyung. Dan sekarang, ini jugalah sebagai pedoman bagi dia untuk pulang ke kampung halamannya.
Regu pencari terus mengikuti barisan bunga-bunga itu. Para pencari telah bertekad bulat untuk mencari sampai dapat, tetapi ternyata wanita itu sudah jauh.
Pencarian sudah dilakukan tiga hari tiga malam. Sekarang hujan terus menerus turun. Wanita yang dikejar sekarang telah berada ditepi sungai yang sedang banjir. Dia kehilangan akal, karena sungai tidak dapat diseberangi sedangkan jika pulang ke belakang takut berjumpa dengan regu pencari. Dalam suasana yang sangat letih, dia berdoa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, semoga perjalanan bersama anak yang sedang dikandungnya selamat dan selalu mendapat lindungan dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Segera setelah dia berdoa, dilihatnya ada sebatang kayu besar sedang hanyut dari hulu dan tepat didepannya batang kayu besar itu tersangkut dan menghempang sungai dari tepi ke tepi yang lainnya. Dengan penuh keberanian dia melompat keatas batang kayu itu dan selamat sampai di seberang. Begitu dia sampai diseberang, regu pencari sudah sampai. Seorang dari mereka berusaha mencapai batang kayu tersebut untuk segera menyeberang dan menangkap si perempuan, tetapi batang kayu telah hanyut, sehingga si prajurit pencari tidak dapat menyeberang. Air sudah meluap, banjir semakin mengganas, sehingga tidak seorangpun dari regu pencari dapat menyeberangi sungai itu.
“Batang anak gadis itu sudah hanyut, kita tidak bisa lagi ke seberang” kata salah seorang prajurit.
Sejak saat itu sungai besar itu dinamakan Aek (sungai) Batang Gadis sampai sekarang.
Beberapa orang prajurit masih sempat melihat dari kejauhan perempuan itu meniti batang kayu yang besar tersebut lalu pergi ke seberang sungai, tetapi begitu mereka sampai ditepi sungai, perempuan itu sudah tidak kelihatan lagi. Ternyata dia telah melihat regu pencari itu telah tiba sehingga dia mencari tempat persembunyian.
Regu pencari kembali ke Istana dengan sia-sia. Mereka pulang karena mereka sudah pesimis tidak dapat berjumpa dengan Isteri muda Raja, terutama keadaan hujan yang tiada reda dan banjir yang terus bertambah besar.
Raja Pagar Ruyung satu-satunya Raja besar di Pesisir Barat Sumatera kini menerima kenyataan. Perjanjian yang harus ditepati ternyata dilanggar sendiri. Bukan oleh pribadi Baginda Raja, tetapi suatu kenyataan Baginda Raja tidak bertanggung jawab penuh sebagai Pemimpin Istana.
Permaisuri tidak pandai mengambil hati Baginda, Isteri yang disayangi sudah hilang dan membawa anak yang belum dikenal karena belum lahir. Kecurigaan Baginda Raja kepada Menteri mulai timbul. Demikian juga kepada para pengawal dan staf lainnya. Baginda bermaksud untuk mengadakan pembersihan aparatur di tubuh kerajaan.
Fikiran Baginda Raja menjadi kacau. Belum diperolehnya data yang lengkap siapa sebenarnya yang menghasut Permaisuri sehingga Permaisuri berani melanggar janji, yang berarti menusuk jantung Baginda Raja, yang berarti juga akan menggaggu kestabilan pemerintahan kerajaan. Pada akhirnya Baginda Raja jatuh sakit.
Si isteri muda dengan selamat sudah sampai di Kampung halamannya. Dia menjumpai orang tuanya, famili dan handai tolan yang ditinggalkannya sekitar setahun yang lalu tanpa pernah mengadakan kunjungan. Dia meminta agar diterima kembali ditengah mereka sebagai anggota masyarakat mereka. Tetapi dengan tegas mereka menjawab bahwa mereka tidak bersedia menerima dia kembali selama dalam perutnya masih ada anak manusia, apalagi kepergiannya dahulu tanpa seizin orang tuanya, famili dan kaum kerabat. Demikianlah, untuk kembali ke masyarakat mereka, dia harus sabar menunggu kira-kira dua bulan lagi, karena anak yang dalam kandungannya masih berusia sekitar 7 bulan.
Anak yang sudah 7 bulan dalam kandungan ini meminta dia lebih banyak berusaha untuk mencari makan, menyebabkan hampir sepanjang hari dia tiada henti-hentinya pergi kesana kemari didalam hutan untuk mencari makanan tanpa bergaul dengan sesama jin dan juga kepada manusia. Dia memakan apa adanya saja, apa yang diperolehnya didalam hutan. Hari berganti hari, dia hidup sendirian dalam hutan sambil menunggu kelahiran bayinya.
Sudah dua bulan dia hidup terasing dalam hutan tanpa bergaul dengan siapa pun. Dia banyak mengingat Tuhan sembari berdoa semoga dia dan anak yang dikandungnya selamat, selamat anak yang dilahirkan, selamat anak kembali ke pangkuan masyarakat manusia dan dia selamat kembali ke tengah-tengah masyarakat asalnya yaitu masyarakat jin.
Anaknya pun lahir dengan selamat. Pakaian yang dibawanya dari Pagar Ruyung diselimutkannya kepada anaknya itu dan berfikir makanan apa yang akan diberikannya kepada anaknya itu.  Dia memandang sekeliling dengan mengharap kiranya ada buah-buahan yang dapat diraihnya untuk penambah air susunya yang diberikannya kepada anaknya. Kebetulan dia bersama anaknya berteduh dibawah pohon jambu, tetapi tidak sedang berbuah. Dia segera berdoa kepada Tuhan : “Ya Tuhan, ampunilah saya andaikata saya ada lupa dan salah dan buatlah jambu ini berbuah, jika seandainya anak saya ini perlu hidup untuk manusia”
Setelah dia habis berdoa, jambu itu segera berbuah dengan buah yang besar dan masak, merunduk sehingga si Ibu dapat mencapai lalu memetiknya. Dimakannya buah jambu itu, disusukannya anaknya kemudian diperasnya buah jambu itu kemudian airnya diberikannya kepada anaknya. Sejak saat itu maka Nasution yang laki-laki dikatakan orang “Bayo Jambu” dan nasution yang perempuan dikatakan orang “Boru Jambu”.
Sesudah anak itu disusukannya dan diberinya air jambu, dilampininya dengan baik dengan menggunakan kain yang dibawanya dari Pagar Ruyung, diletakkannya di atas sebuah batu ditengah hutan, lalu dia serahkan kepada Tuhan. “ Ya Tuhan, anak manusia yang saya kandung selama ini, telah Kau lahirkan dengan selamat. Saya juga telah Kau buat dalam keadaan sehat wal afiat. Izinkanlah saya berpisah dengan anak saya ini, supaya saya kembali ke tengah-tengah kaum famili saya. Jadikanlah anak saya ini anak yang sakti dan berguna bagi masyarakat manusia”
Sehabis kata-kata penyerahan ini, dipeluk dan diciumnya anaknya, lalu dengan air mata berlinang-linang mulutnya komat-kamit mengucapkan kata-kata perpisahan :
“Anakku, sampai sekian saja pertemuan kita. Tinggallah engkau anakku, karena engkau adalah anak manusia, anak Raja. Semoga engkau lekas besar dan bertemu kembali dengan manusia. Tinggallah engkau anakku, Ibu pergi ke tengah-tengah famili ibu, berpisah untuk  selama-lamanya.”
Anak itu diletakkannya diatas sebuah batu besar ditengah hutan belantara kemudian dia pun pergi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar