Diceritakan kembali Oleh H. Muhammad Djafar Nasution, BA
Sejarah yang disampaikan dengan lisan secara estafet ini, cenderung menjadi legenda atau dongeng. Karena selain dari pada inti sejarahnya dapat berubah, baik pelaku dan tanggal kejadiannya sudah banyak terlupakan. Kebenaran sejarahnya menjadi sukar untuk dipertanggung-jawabkan ditambah lagi manusia sebagai sumbernya sudah tidak diketemukan lagi.
Sejarah atau asal usul suku (marga) baik di Tapanuli Selatan maupun Tapanuli Utara dan daerah lainnya tidak luput dari kejadian diatas, ini diakibatkan karena nenek moyang kita masih belum pandai tulis baca. Namun demikian tidak kurang pentingnya mentransfer sejarah dalam bentuk lisan ini kedalam sejarah dalam bentuk tertulis, karena apabila tulisan-tulisan yang dihasilkan ini dikemudian hari diperbandingkan satu dengan lainnya tentu akan menghasilkan penelitian yang lebih dapat dipertanggung-jawabkan. Selain dari pada itu, bila sama sekali tidak ditransfer ke bentuk tulisan tentu lambat laun sejarah itu akan hilang sama sekali.
Bertolak dari pemikiran ini maka hasrat penulis sendiri timbul untuk menulis silsilah Nasution Padang Garugur ini, dimana penulis sendiri adalah keturunannya. Dengan demikian penulis sadar bahwa tulisan ini banyak kekurangannya, bahkan kemungkinan besar banyak kesalahannya. Karena itu penulis selalu bersedia untuk melakukan diskusi mengenai hal ini untuk lebih dekatnya kepada sejarah yang sebenarnya.
Mengakhiri tulisan ini, tidak lupa penulis menyampaikan harapan yang sebesar-besarnya kepada para orang tua dari Marga Nasution seluruhnya, baik dia dari Nasution Padang Garugur, Nasution Huta Siantar dan lainnya, kiranya mencoba menulis sejarah sebatas yang diketahuinya yang diperoleh dari cerita lisan secara turun temurun, agar bahan perbandingan berupa sumber sejarah lebih banyak sehingga lebih dapat dipertanggung-jawabkan.
Akhirul kalam, penulis tidak lupa meminta maaf kepada segala pihak yang mungkin merasa tersinggung atau mungkin merasa seperti ada kekurangan fakta akan ceritanya, karena semuanya ini adalah berdasarkan ingatan penulis dari cerita-cerita yang dikumpulkan penulis selama ini.
Semoga Allah Subhanahu Wa Taala mengampuni kita sekalian, bila kita salah atau lupa.
Diceritakan kembali Oleh H. Muhammad Djafar Nasution, BA
Perang masih berkelanjutan. Kini musuh bukan teman sesuku (marga) saja tetapi juga dari marga lain termasuk marga Hasibuan. Perang sudah bukan perang saudara saja tetapi sudah berobah menjadi perang untuk perebutan wilayah.
Dalam suasana perang seperti ini pasukan menjadi kucar-kacir sehingga sebahagian Nasution Padang Garugur ini lari ke arah barat menuju ke Barumun untuk menghindarkan diri dari peperangan yang terus berkecamuk. Mereka lupa akan perjanjian Bulu Simaroung-oung, yang mengatakan jangan lari atau pergi ke arah barat. Mereka mencari tempat yang aman dari perang dan subur buat pertanian. Mereka memilih tempat di Handis karena tanah dan pengairannya cukup baik untuk pertanian. Bertahun-tahun mereka tinggal di daerah ini, namun pada akhirnya mereka tinggalkan juga. Mereka pindah lagi mencari tempat perkampungan yang lebih sesuai, dengan maksud untuk membangun perkampungan sendiri dan mempunyai pemerintahan sendiri. Selanjutnya mereka pindah kearah utara yaitu ke Siborong-borong Siolip.
Bulatlah musyawarah mereka untuk tinggal menetap di Siborong-borong Siolip ini untuk mendirikan kampung sendiri. Melihat hal ini Raja-raja Hasibuan dari Siolip, Hasahatan Jae dan Paringgonan merasa kurang senang, mereka takut kalau ada marga lain yang mempunyai kekuatan yang besar, yang mungkin akan mengganggu mereka di kemudian hari. Namun demikian Raja-raja Hasibuan ini tidak bertindak untuk memerangi mereka, Raja-raja Hasibuan ini mendatangi mereka untuk bermusyawarah dengan mengatakan :
“Apa gunanya kamu mendirikan kampung sendiri. Kamu masih terlalu sedikit untuk membentuk kerajaan sendiri. Sebaiknya kamu bergabung saja dengan kami. Di kampung (kerajaan) kami, kami masih memerlukan pembantu-pembantu kami, untuk itu jika kamu bersedia bergabung dengan kami, kamu akan kami angkat menjadi Anak Boru kami untuk memegang jabatan Kepala Ripe Pembantu Raja.”
Siasat Raja Hasibuan ini berhasil, karena hampir semua pihak dari Nasution Padang Garugur ini bersedia bergabung dengan mereka. Satu pihak yang tidak bersedia untuk bergabung dan juga tidak menolak yaitu pihak Ja Leman, tetapi dalam musyawarah bersama antar keluarga dia mengatakan bahwa dia tidak bersedia bergabung dengan Raja Hasibuan tersebut. Lalu sebelum ada ketentuan siapa yang akan ke Siolip, siapa yang ke Hasahatan Jae dan siapa yang ke Paringgonan, Ja Leman secara diam-diam kembali ke perkampungan mereka semula yaitu Handis. Mulailah keluarga Nasution ini berpisah-pisah. Pihak Raja Hasibuan membiarkan saja pihak Ja Leman pergi ke Handis, dengan keyakinan bahwa Ja Leman tidak akan sanggup untuk mendirikan kerajaan sendiri.
Pihak Kali Mauli yang masih tinggal di Siborong-borong segera akan diatur oleh Kali Mauli sendiri bersama dengan anaknya Ja Badar untuk pindah dan bergabung dengan Hasibuan di Siolip. Ja Daud anak dari Kali Mauli pindah dan bergabung dengan Hasibuan di Hasahatan Jae dan Ja Gon-gonan anak Kali Mauli pindah dan bergabung dengan Hasibuan di Paringgonan. Hilanglah kekuatan Nasution Padang Garugur di Rura Barumun dengan peristiwa perpisahan di Siborong-borong ini.
Pihak Ja Leman sendiri mengalami kesukaran juga di Handis. Selain dari usaha pertanian yang kurang berhasil, keturunannya juga sangat sedkit. Anaknya Ja Nauli sudah mengambil kesimpulan untuk meninggalkan Handis, tetapi untuk memutuskan kemana pindahnya masih ragu, apakah dia ke Siolip, Hasahatan Jae atau ke Paringgonan. Akhirnya setelah mengadakan hubungan terlebih dahulu, maka dia memutuskan untuk pindah ke Hasahatan Jae.
Demikianlah sejarah masuknya Nasution Padang Garugur ke Hasahatan Jae, mulai dari tanah leluhurnya di Padang Garugur Penyabungan – Mandailing.
Diceritakan kembali Oleh H. Muhammad Djafar Nasution, BA
Di daerah yang baru ini mereka mencoba untuk membangun kerajaan baru. Demikian juga perladangan, mereka telah mencari tanah yang sesuai. Tetapi rupanya musuh masih juga membuntuti mereka, pihak musuh masih belum puas kalau tidak langsung mengadakan perlawanan secara frontal.
Sutan Gaja Maimahon memerintahkan rakyatnya agar seorangpun jangan ada yang menyerah. Lebih baik mati berkalang tanah daripada menyerah ditawan musuh. Terjadilah perang saudara secara frontal. Tidak sedkit yang jatuh baik dipihak musuh maupun dipihak mereka. Kejar mengejar terus berlangsung, sehingga daerah perang berpindah ke perbatasan daerah Sosa yang ada sekarang.
Perang terus berkelanjutan. Berhenti satu hari, berperang dua hari. Dalam perang yang demikian akhirnya terjadi suatu perlawanan yang sengit. Sutan Gaja Maimahon Panglima Perang merasa sangat haus, kemudian dia pergi kesungai untuk minum. Sehabis minum air sungai dia jatuh tersungkur, tidak lama kemudian dia meninggal dunia. Ternyata air yang diminumnya tersebut adalah air yang sudah bercampur dengan darah, yaitu darah dari prajurit yang terluka dalam peperangan, sedangkan pantangan dari ilmu yang dimiliki beliau agar kebal adalah tidak boleh memakan / meminum darah.
Karena meninggalnya Sutan Gaja Maimahon, pasukan kehilangan komando. Sutan Gaja Maimahon dikebumikan beberapa hari kemudian, karena perlu dibawa ketempat yang lebih aman dari serangan musuh.
Panglima perang yang baru ditunjuk, musuh tidak mengetahui bahwa Sutan Gaja Maimahon sudah meninggal dunia. Musuh sudah kehilangan kekuatan karena sudah banyak dari prajurit mereka yang gugur. Sehingga secara otomatis perang untuk sementara terhenti. Pada kesempatan itu mereka mengadakan musyawarah besar atas pimpinan komandan perang yang baru. Mereka mencari tempat yang strategis, yaitu lokasi yang agak tinggi agar dapat memantau dari jauh kedatangan musuh yang akan menyerang mereka.
Sebelum musyawarah dimulai, mereka makan bersama. Makanan yang dimasak secara bersama-sama. Salah satu tungku masaknya mereka gunakan bambu yang masih muda. Sehabis makan bersama musyawarahpun dimulai. Pada musyawarah ini mereka memutuskan agar kekompakan dipertinggi lagi sehingga pasukan lebih tangguh untuk menghadapi musuh. Jangan sekali-kali ada perpecahan antara sesama mereka, jangan sekali-kali ada maksud untuk menyerah kepada musuh. Diakhir musyawarah tersebut, maka pimpinan musyawarah mengumumkan hasil musyawarah sebagai berikut :
“Berdasarkan keputusan musyawarah kita, kita semua yang hadir harus sepakat untuk menggalang persatuan. Kekompakan harus kita pertinggi, sehingga kita lebih tangguh dalam menghadapi musuh. Karena itu sekiranya kita diserang musuh, jangan sekali-kali ada diantara kita yang pergi atau lari ke arah barat dari tempat pertemuan kita ini. Bila ada diantara kita yang masih lari ke arah barat lalu hendak bemukim disana, maka nantinya tidak boleh mempunyai kedudukan yang tinggi atau terhormat, lebih-lebih tidak boleh menjadi Raja”
Mendengar ketegasan Panglima demikian, masih ada diantara hadirin yang mencoba untuk menyangkal : “Mana mungkin kalau ada yang kebarat, lalu tidak akan mendapat kedudukan yang tinggi atau terhormat atau tidak boleh menjadi Raja”
Maka Panglima segera menjawab : “Sebagai bukti, bahwa siapa yang akan pergi ke arah barat tidak akan mendapat kedudukan terhormat atau tidak akan menjadi Raja, mari kita tunggu sebentar bambu tungku masak kita ini. Bila bertunas sebentar lagi, ini bermakna ucapan saya benar, jika tidak bertunas bermakna ucapan saya tidak benar.”
Masing-masing yang hadir dengan serta merta melihat kearah tungku bambu yang dimaksud. Ternyata bambu itu segera bertunas seketika itu juga. Lalu Panglima segera memegang tungku bambu yang bertunas itu seraya memimpin ikrar bersama yang bunyinya :
“Kami semuanya yang hadir dalam Musyawarah Besar ini berjanji dan berikrar akan senantiasa memelihara kekompakan diantara kami dan bersepakat jika ada serangan, maka kami semuanya tidak boleh ada yang lari ke arah barat. Bila diantara kami ada yang lari ke arah barat, hal ini akan menimbulkan perpecahan, masing-masing kami bersedia untuk menerima akibat dari perjanjian ini, yaitu tidak boleh memperoleh kedudukan yang terhormat lebih-lebih untuk menjadi Raja.”
Dengan selesainya pembacaan ikrar bersama ini, maka Musyawarah Besar ditutup oleh Pimpinan Musyawarah dan sebelum bubar hadirin saling bersalaman satu sama lain. Tungku bambu tadi dibiarkan runtuh, sehingga lama kelamaan rumpun bambu itu dinamakan orang Bulu Simaroung-oung karena sering berdengung bila dihembus oleh angn. Sampai sekarang bambu itu masih ada dan bertempat di suatu bukit (tor) tidak jauh dari Pasir Ampolu yang sekarang. Itulah sebabnya Musyawarah Besar ini kemudian dikenal dengan Perjanjian Bulu Simaroung-oung.
Selesai musyawarah beristirahat sebentar, tak lama kemudian dari kejauhan terlihat pasukan musuh datang menuju tempat mereka. Mereka sudah siap sedia menghadapi segala kemungkinan. Demikianlah dalam masa yang panjang perang tidak habis-habisnya silih berganti antara diserang dan menyerang.
Diceritakan kembali Oleh H. Muhammad Djafar Nasution, BA
Baginda Mangaraja Enda, anak keempat dari Sutan Diaru menjadi Raja untuk wilayah Penyabungan. Beliau mengikuti carah ayahnya memerintah, yakni menghunjuk anak-anaknya menjadi Pembantu Wilayah, sebagai berikut :
a.Seorang untuk wilayah Mompang.
b.Seorang untuk wilayah Padang Garugur.
c.Seorang untuk wilayah Tangga Bosi.
d.Seorang untuk wilayah Huraba.
Demikian juga kerajaan-kerajaan lainnya yakni Huta Siantar, Pidoli Dolok, Singengu dan Lumban Kuayan. Kerajaan besar yang tadinya diperintah oleh seorang Raja pada zaman Sutan Diaru, sekarang terpecah-pecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil. Kerajaan yang sudah demikian kecilnya, sehingga setiap raja hanya memerintah sebuah kampung saja. Tidak jarang pula terjadi pertentangan antara kerajaan (kampung) yang satu dengan kerajaan (kampung) yang lain.
Wilayah Padang Garugur diperintah oleh Mangaraja Padang Garugur. Tetapi kendali pemerintahan dipegang oleh Isterinya. Karena itu sering dikatakan orang Padang Garugur Raja Perempuan. Keturunannya dinamakan orang Nasution Padang Garugur Keturunan Raja Perempuan.
Mangaraja Padang Garugur terlalu patuh akan kata-kata isterinya. Hal ini menyebabkan Raja-raja yang lainnya sering kurang cocok dengan Mangaraja Padang Garugur. Pertentangan kecil lama kelamaan menjadi besar sehingga pada akhirnya menimbulkan perang saudara. Kurang jelas bagi penulis apakah Mompang yang menjadi lawan atau Tangga Bosi.
Dalam perang saudara ini, Padang Garugur yang selalu diserang, karena pada dasarnya Mangaraja Padang Garugur tidak suka perang. Selalu diusahakan agar jangan sampai berhadapan frontal. Apabila diketahuinya pihak lawan datang menyerang, maka diperintahkannya agar semua rakyat mengungsi.
Demikianlah pada suatu ketika dia menerima laporan dari pembantunya bahwa kerajaannya akan diserang. Dengan segera dia memerintahkan agar semua rakyat mengungsi untuk beberapa hari lamanya pergi meninggalkan kampung sambil membuka perladangan yang baru.
Melihat kampung yang kosong, pihak musuh kesal bercampur marah dan seketika itu pihak musuh membakar kampung itu. Padang Garugur dibumi-hanguskan oleh pihak musuh. Demikianlah kejamnya perang saudara kali ini.
Ketika pulang dari perladangan, mereka hanya menemukan runtuhan rumah yang sebahagian besar sudah menjadi abu dan arang. Kerajaan ditimpa musibah kesedihan yang menyayat hati. Rakyat mengalami kelaparan karena semua yang ditinggalkan sudah habis binasa. Maka diadakanlah musyawarah, kira-kira langkah apa yang akan ditempuh. Mangaraja Padang Garugur sudah merasa tidak mampu lagi untuk memegang pemerintahan, apalagi karena umurnya sudah lanjut, maka diserahkan kepada anaknya bernama Sutan Gaja Maimahon.
Raja baru Sutan Gaja Maimahon memimpin musyawarah. Hasil musyawarah memutuskan bahwa tidak ada gunanya meneruskan perang karena yang diperangi adalah saudara sendiri, apalagi kekuatan sudah demikian lumpuh. Lebih baik Padang Garugur ditinggalkan untuk mencari daerah dan tanah yang baru dan lebih subur daripada hidup miskin dan selalu mendapat ancaman perang. Maka bulatlah tekad untuk meninggalkan Padang Garugur.
Berangkatlah rombongan pengungsi melalui hutan belantara, berjalan sambil mencari makanan. Perjalanan demikian panjangnya. Negeri dan tanah yang dituju belum pasti. Dalam hati mereka berharap kiranya tanah yang diperoleh nantinya hendaknya subur dan jauh dari jangkauan musuh. Akhirnya sampailah mereka disuatu daerah yang mereka anggap sudah cukup baik dan jauh dari musuh, daerah tersebut disekitar Dalu-dalu / Pasir Pangarayan sekarang. Inilah tanah yang mereka pilih dan di daerah ini mereka bermaksud untuk menetap dan mendirikan kerajaan baru.
Diceritakan kembali Oleh H. Muhammad Djafar Nasution, BA
Dalam usia 7 tahun Baroar meninggalkan Kerajaan Sutan Pulungan dibawa oleh Saua. Di perantauan Saua menyerahkan Baroar kepada seorang guru untuk mendapatkan pelajaran termasuk belajar Pencak Silat. Walaupun umurnya masih 7 tahun, tetapi dia sudah dapat mengikuti pelajaran dengan baik. Karena dia dapat menunjukkan kecakapannya maka dia menjadi kesayangan guru, bahkan tidak jarang dia disuruh guru untuk membantu mengajari teman-temannya.
Demikianlah beberapa tahun lamanya, sehingga menjelang umur Baroar 18 tahun, menurut sebahagian orang Baroar mengadakan pengembaraan sampai ke Kerajaan Pagar Ruyung di Sumatera Barat. Di sana dia belajar bermacam-macam ilmu termasuk ilmu kemiliteran (ilmu perang) dan lain sebagainya. Setelah mahir dan menamatkan pelajarannya di Pagar Ruyung dia kembali ke Daerah Mandailing.
Di daerah Mandailing, dia mencoba mengajar pencak silat dan akhirnya dia juga mengajarkan bermaam-macam ilmu. Masyarakat menghargai dia sebagai guru yang cakap dan baik serta mempunyai sifat kepahlawanan. Dimana terjadi kerusuhan dia selalu tampil sebagai juru damai, dimana ada kegelisahan dia tampil sebagai penasehat. Demikianlah dia, pada akhirnya menjadi orang yang disayangi dan disegani oleh masyarakat.
Raja yang zalim yang memerintah pada waktu itu dihadapinya dengan penuh kebijaksanaan. Rakyat telah melihat sifat-sifatnya yang terpuji sehingga mereka menganggap dialah yang patut diangkat menjadi raja. Dia tidak sedikitpun berniat untuk menjadi Raja, tetapi dikalangan masyarakat termasuk pengetua adat dan pemimpin masyarakat pada waktu itu telah merencanakan untuk menggulingkan Raja yang zalim dan sekaligus menobatkan Baroar menjadi Raja yang baru.
Kekacauan sudah sering terjadi, pemberontakan-pemberontakan kecil mulai terjadi menentang Raja. Baroar selalu berusaha sebagai penengah antara Raja dan Pemberontak. Tetapi gerakan massa tidak dapat dibentung lagi. Rakyat melawan kezaliman Raja sehingga pada akhirnya kekuasaan Raja dapat digulingkan. Akhirnya Baroar dinobatkan oleh rakyat menjadi Raja.
Setelah diangkat menjadi Raja, kerajaan menjadi aman dan tenteram. Baroar mendengarkan suara rakyatnya. Setiap golongan dihargainya, dia mengambil wakil-wakil setiap golongan untuk duduk dalam pemerintahan. Banyak daerah yang meminta untuk bergabung ke dalam wilayah kerajaannya, sehingga dalam masa pemerintahannya wilayah kerajaan bertambah luas.
Menjelang akhir hayatnya, ditunjuknya anak-anaknya sebagai pembantu di beberapa wilayah, seperti :
a.Mengaraja Mandailing sebagai Pembantu Wilayah Huta Siantar.
b.Mangaraja Gading Soritaon sebagai Pembantu Wilayah Pidoli Dolok.
c.Mangaraja Bosar sebagai Pembantu Wilayah Kualu.
d.Baginda Mangaraja Enda sebagai Pembantu Wilayah Penyabungan.
e.Mangaraja Pinanyungan sebagai Pembantu Wilayah Singengu.
f.Mangaraja Parlaungan sebagai Pembantu Wilayah Lumban Kuayan.
Dapatlah dibayangkan bagaimana besarnya kerajaan Baroar (Gelar Sutan Diaru) pada saat pemerintahannya.
Wilayah yang demikian luas diperintahnya dengan penuh bijaksana dan cukup aman sampai akhir hayatnya. Kemudian setelah dia wafat, masing-masing anaknya membentuk kerajaan sendiri di wilayah masing-masing, sehingga wilayah yang demikian luas terbagi-bagi menjadi kerajaan-kerajaan kecil.
Diceritakan kembali Oleh H. Muhammad Djafar Nasution, BA
Umur Baroar sekarang sudah berkisar 7 tahun. Dia suka bergaul dengan teman-teman sebayanya. Dia pandai bermain apa saja. Dalam bermain dia selalu menunjukkan keunggulannya, keramahannya dan kesopanannya sehingga semuaorang senang kepadanya. Kepada teman sebaya dia penuh keakraban, kepada yang lebih tua dia hormat dan kepada yang muda dia sayang.
Hampir setiap hari dia selalu kelihatan bermain-main dengan teman sebayanya. Tidak jarang juga dia bermain dengan anak Sutan Pulungan yang umurnya sebaya dengan dia dan kebetulan mirip pula dengan dia. Sehingga wajarlah orang sering salah sangka, menganggap Baroar adalah anak Sutan Pulungan. Raut mukanya hampir sama, demikian juga besar dan bentuk tubuhnya. Sehingga orang berlaku hormat kepada Baroar karena menganggap dia anak Raja.
Hal ini menimbulkan efek yang kurang baik, karena pihak Istana tidak merasa senang kalau rakyat mengganggap Baroar adalah anak Raja. Timbul sikap yang kurang baik dari pihak Istana, bahkan ada yang ingin agar Baroar dibuang atau dibunuh saja. Sutan Pulungan demikian juga, akhirnya kurang senang mendengar Baroar dianggap anak Raja.
Secara rahasia ada gagasan dari pihak Istana untuk membunuh Baroar. Mereka mencari cara yang tepat dan mudah dipertanggung-jawabkan. Sehingga muncul gagasan untuk membangun Balai Desa (Sopo Godang) yang baru. Menurut tradisi dalam membangun suatu bangunan yang besar, baik Istana, jembatan maupun Balai Desa ada anggapan masyarakat harus menyediakan korban berupa kepala manusia, kepala kerbau, kepala lembu atau kepala hewan besar lainnya. Hanya dengan adanya korban, bangunan itu punya tuah, kesaktian atau semangat.
Dengan menyediakan korban berupa kepala manusia, diharapkan tuah, kesaktian dan semangat yang lebih besar akan diperoleh. Lalu secara rahasia timbul gagasan dari Istana untuk menjadikan Baroar menjadi korban dalam pembangunan Balai Desa dimaksud. Hal ini dijalankan dengan cukup rahasia sehingga rakyat tidak ada yang mengetahuinya. Direncanakan penyediaan lobang besar untuk tempat berdiri tiang besar dan ketika tiang itu dimasukkan kedalam lobang, terlebih dahulu ditolakkan Baroar kedalamnya, kemudian ditimpakan dengan tiang selanjutnya ditimbun dengan tanah.
Dengan demikian, diharapkan selesailah riwayat Baroar yang sering membuat rakyat salah duga sehingga sering memuliakan Baroar.
Hari yang ditunggu-tunggu telah tiba. Rakyat sudah berkumpul hendak menyaksikan dan turut ambil bagian dalam pembangunan Balai Desa Kerajaan, tanpa sedkitpun mengetahui maksud terselubung dari Pihak Istana. Petugas yang ditentukan sudah mencari Baroar agar ikut serta untuk menyaksikan acara mendirikan tiang utama yang menjadi acara pokok pembangunan. Lokasi pembangunan sudah penuh sesak oleh pengunjung.
Sebentar lagi acara mendirikan tiang akan dimulai. Raja yang dijemput sudah hadir. Para tukang yang ditentukan sudah siap sedia. Baroar sudah nampak dekat lobang tempat mendirikan tiang besar, sehingga Baroar tidak perlu dicari-cari lagi.
Waktu mendirikan tiang besar sudah tiba. Dengan tidak diketahui rakyat, petugas menolakkan Baroar ke dalam lobang, kemudian dengan segera ditimpakan dengan tiang besar selanjutnya ditimbun dengan tanah.
Acara utama sudah selesai, para petugas dan petugas Istana sudah merasa puas, karena maksud utama sudah berjalan. Baroar sudah mati, diperlakukan sebagai korban untuk memperoleh kesaktian dan semangat dari Balai Desa yang didirikan.
Para hadirin telah bubar, rakyat satu per satu pulang kerumah masing-masing. Sutan Pulungan istirahat di Istana sambil menunggu santap siang. Waktu untuk santap siang hampir tiba tetapi anak yang disayangi yang selalu duduk disamping beliau belum juga datang. Sutan Pulungan mulai was-was, dalam hatinya mulai berkata jangan-jangan anak saya pula tadi yang ditolakkan petugas masuk kelobang. Setelah ditunggu, lima menit, sepuluh menit, lima belas menit belum juga datang. Hatinya sudah tidak sabar lagi menunggu, diperintahnya seorang pengawal mencari anaknya. Lalu ada yang berfikir, agar keadaan ini disampaikan kepada Saua. Kalau Baroar masih ada, sebaiknya diungsikan saja, karena kalaumemang benar anak raja tidak ada lagi, pasti Baroar juga akan ditangkap oleh Raja dan tentu juga akan dibunuh.
Saua ditemui di rumahnya. Kebetulan Baroar juga sedang berada di rumah. Saua diberitahu perihal kejadian di Istana dan dianjurkan agar segera mengungsikan Baroar, kalau masih ingin jiwa Baroar selamat.
Demikian Baroar keluar dari Kerajaan Sutan Pulungan, pergi entah kemana untuk mengadu nasib peruntungan, mencari tempat hidup baru dan cara hidup baru. Dari kejadian ini ditemukanlah kesaktian berikutnya, karena ternyata bukan Baroar yang ditolakkan oleh petugas ke dalam lobang, melainkan adalah anak Sutan Pulungan sendiri.
Diceritakan kembali Oleh H. Muhammad Djafar Nasution, BA
Beberapa hari kemudian ...
Serombongan pemburu sampai dilokasi anak kecil tersebut. Mereka itu tidak lain dan tidak bukan adalah anggota rombongan pemburu dari Sutan Pulungan, yaitu Raja yang memerintah di daerah itu. Sutan Pulungan juga ikut berburu ketika itu, karena berburu adalah suatu hobi dari Raja Sutan Pulungan.
Mereka memberitahu perihal anak tersebut kepada Sutan Pulungan, Sutan Pulungan langsung datang dan menyaksikan sendiri ke lokasi anak itu berbaring.
Ketika Sutan Pulungan sampai, anak itu langsung menangis sambil mengangkat kedua tangannya, seolah-olah mengharapkan agar Sutan Pulungan bersedia mengangkatnya. Dengan serta merta Sutan Pulungan mengangkat anak itu, memeluk dan menciumnya.
Rombongan pemburu yang terdiri dari para pengawal dipanggilnya, lalu dia berkata : “Bawa kalian anak ini ke Istana. Anak ini harus dipelihara dengan baik, karena saya yakin anak ini bukan anak sembarangan. Anak ini anak bertuah sehingga saya yakin anak ini pasti anak raja dan kelak pasti akan menjadi raja.”
Demikianlah anak Raja Pagar Ruyung ini, setelah beberapa hari tidak bersama manusia, sekarang dia kembali masuk ke Istana Raja.
Tersiarlah berita ke sana ke mari, bahwa Sutan Pulungan bersama pengawalnya menemukan seorang bayi laki-laki diatas sebuah batu di tengah-tangah hutan ketika Sutan Pulungan sedang berburu. Anak itu diketemukan berlampinkan kain berharga dan dilampin dengan baik sehingga sepintas lalu dapat diambil kesimpulan bahwa anak itu pasti anak orang terhormat, bukan anak sembarangan.
Berita itu tersiar dari mulut ke mulut, dari kampung ke kampung lainnya sehingga pada akhirnya sampailah berita itu ke Istana Kerajaan Pagar Ruyung. Raja Pagar Ruyung yang sedang sakit menerima berita itu dari salah seorang menterinya. Baginda memerintahkan Menterinya itu untuk mengusut kebenaran dan kejelasan berita tersebut. Setelah bersusah payah mencari informasi selengkapnya, Menteri tersebut melaporkan kepada Baginda Raja :
“Anak yang dijumpai oleh Sutan Pulungan adalah anak laki-laki. Dijumpai dalam keadaan sehat dan gemuk serta tidak kurang suatu apapun. Dilampini dengan kain berharga dengan cara melampin yang cukup baik dan teratur, sedangkan siapa ibunya tidak diketahui, karena anak tersebut hanya ditinggalkan sendirian didalam hutan.”
Mendengar hal ini, tanpa disadari air mata Baginda keluar berlinang-linang, terharu memikirkan kejadian yang berlaku atas diri isterinya dan anaknya. Ingin dia memerintahkan agar anak tersebut dijemput ke Istana Sutan Pulungan, tetapi karena melihat Permaisuri kurang menyetujui, maka diurungkannya maksud tersebut. Dalam hatinya dia berkata : “Biarlah saya berangsur sehat dahulu.”
Tak lama kemudian masuk pula seorang pengawal membawa seorang tamu yang ingin berjumpa beliau. Baginda menyuruh orang tersebut menyampaikan maksudnya. Orang itu berkata :”Saya adalah suruhan dari penghuni rimba sana, menyampaikan bahwa bekas isteri Baginda sudah selamat sampai di sana setelah melahirkan seorang bayi laki-laki. Bayi itu sempat disusukannya dan diberinya air jambu yang kebetulan berbuah segera sesudah anak Baginda lahir. Anak itu dilampininya dengan kain kerajaan Baginda dan ditinggalkannya diatas sebuah batu besar. Kemudian isteri Tuanku pergi meninggalkan anak Tuanku.” Sehabis orang tersebut menyampaikan maksudnya, dia pamitan kemudian terus menghilang.
Ingin sekali Baginda menyampaikan pesan melalui orang tersebut, tetapi apa yang hendak dikata, orang tersebut telah menghilang. Akhirnya Baginda hanya menangis dan kemudian berkata :
“Anakku, selamatlah engkau !, saya akui engkau seorang anak yang sakti. Banyak hal yang membuktikanmu anak yang sakti, antara lain :
1.Sewaktu engkau menyeberangi sungai besar, tiba-tiba saja hanyut sebatang kayu, terhempang dan menjadi titianmu.
2.Sewaktu ibumu lapar dan haus, tiba-tiba saja jambu berbuah dan merunduk sehingga ibumu dan engkau dapat makan.
3.Sewaktu engkau tinggal sendiri ditengah hutan belantara, tiba-tiba saja seorang Raja datang menjemputmu dan membawamu ke Istana..
“Selamatlah engkau wahai anakku !”
“Ya Tuhan, panjangkanlah umur anakku ini dan jadikanlah dia anak yang berguna yang mampu memimpin manusia kearah kebaikan”
Demikianlah kata-kata yang diucapkan oleh Baginda Raja Pagar Ruyung sejenak sesudah beliau mendengar cerita tentang kelahiran dan kejadian anaknya. Tetapi hal ini cukup mengharukan Baginda. Tidak bisa tidur, makan pun tidak lalu, karena ingatannya tidak lekang dari peristiwa keberangkatan isterinya dan kelahiran anaknya.
Demikianlah, dari hari ke hari penyakitnya makin berat, tidak berapa lama Tuhan memanggilnya untuk selama-lamanya. Sebelum menghembuskan nafas yang terakhir Baginda masih memanggil anaknya :
“Anakku sayang, anakku yang sakti !”
“Selamatlah engkau mengharungi dunia yang fana ini !”
“Mande mu hilang, saya pun pergi !”
Baginda kemudian menghembuskan nafasnya yang terakhir, pergi untuk selama-lamanya. Ucapan yang mengatakan “Anakku yang sakti” inilah yang menyebabkab anaknya yang lahir itu dikatakan orang dengan anak yang sakti, yang pada akhirnya berubah menjadi “na saktion” dan terakhir berubah menjadi “nasution”.
Ucapan yang mengatakan : “Mande mu hilang, saya pun pergi !” itu kemudian menyebabkan wilayah kelahiran anaknya dimana kebetulan ibunya menghilang dikatakan orang dengan wilayah Mande Hilang yang pada akhirnya berubah menjadi Mandailing.
Anak kecil mendapat asuhan dengan cukup baik di Istana. Si anak berangsur-angsur bertambah besar. Hanya saja lama kelamaan semakin tidak disenangi oleh Permaisuri, karena si anak ini jauh lebih tampan dari anak Sutan Pulungan sendiri yang juga sebaya dengan si anak. Semakin kelihatan perlakuan Permaisuri yang menunjukkan kebenciannya kepada si anak, apalagi kalau ada tamu yang datang ke Istana sering melontarkan pujian kepada si anak dibanding kepada anak permaisuri sendiri.
Tak ada jalan lain selain dari pada memindahkan si anak dari istana. Dicobalah untuk mencari siapa kira-kira yang bersedia untuk mengasuhnya, tetapi pada umumnya orang tahu akan sikap Permaisuri sehingga menjadi takut untuk menawarkan diri. Permaisuri tidak suka kalau si anak diasuh di rumah besar oleh keluarga terhormat.
Dicarilah perempuan yang susah, yang untuk mencari sesuap nasi untuk pagi dan petang saja sangat sukar, yang tinggal di gubuk reot, yang demikianlah keinginan Permaisuri. Maka ditemuilah seorang perempuan yang bernama Saua yang tinggal di kandang hewan (baroar) yang telah dirobah menjadi gubuk reot. Gubuk mereka inilah yang pada akhirnya menjadi nama anak tersebut.
Saua sangat senang hatinya menerima kehadiran anak tersebut, kebetulan dia sendiri tidak mempunyai anak. Apalagi anak yang diterimanya ini cukup tampan dan menyenangkan. Bahkan Saua tidak mengerti mengapa harus kepadanya anak itu dititipkan, mengapa bukan kepada bangsawan atau hartawan.
Demikianlah setelah Baroar tinggal bersama Saua, penghidupan Saua sudah mulai berobah. Jika tadi makan pagi dicari pagi dan makan siang dicari siang, sekarang tidak lagi. Rezeki Saua sudah menjadi murah. Dia sudah dapat mengganti pakaiannya, demikian juga telah sanggup membeli celana dan baju untuk Baroar. Baroar tumbuh dengan sehat dan senantiasa rajin membantu Saua.
Diceritakan kembali Oleh H. Muhammad Djafar Nasution, BA
Setelah Baginda Raja beristeri muda, dari hari ke hari Permaisuri merasa perhatian Baginda berangsur-angsur berkurang kepadanya. Baginda semakin sering tidak berada di Istana bahkan tidak tidur di Istana, tetapi lebih banyak menghabiskan waktunya bersama isteri mudanya. Permaisuri berusaha benar untuk menahan rasa amarahnya terhadap Baginda, tetapi rasa cemburunya kepada isteri muda semakin menjadi-jadi. Semakin tak mau dia berjumpa dengan madunya itu bahkan menegur saja dia tidak mau.
Permaisuri merasa suaminya sudah dirampas orang. Rasa amarah bercampur benci kepada Baginda makin menjadi-jadi, apalagi bila dilihatnya Baginda Raja sedang bersama isteri mudanya. Memang selain daripada madunya ini umurnya jauh lebih muda dari dia, juga jauh lebih cantik dan pandai mengambil hati Baginda. Tidak heran jika Baginda jauh lebih suka bersama dengan isteri mudanya daripada bersama dengan permaisuri.
Demikianlah dari hari ke hari kerukunan hidup antara Baginda Raja dengan Permaisuri berangsur-angsur berkurang. Ketenteraman istana makin berkurang. Permaisuri menganggap madunya itu sekarang sudah menjadi musuh utamanya. Dia berniat akan mengusir madunya itu bila datang ke Istana, bahkan bila situasi mengizinkan dia akan mengadakan penyerangan dan perlawanan. Dalam hatinya ingin benar dia agar madunya datang ke Istana sehingga dia dapat memukul serta mengusirnya.
Si Isteri muda juga sudah merasakan bahwa dia sudah dibenci oleh Permaisuri. Dia sudah mengusulkan kepada Baginda Raja agar bertindak adil kepada mereka. Dia mengatakan bahwa dia takut kalau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Dia takut kalau terjadi pertengkaran atau kegaduhan yang cukup memalukan Istana. Tetapi Baginda Raja tidak mengindahkan hal itu. Baginda tidak peduli apa yang akan terjadi, karena dia yakin semua persoalan pasti akan dapat diatasi. Baginda yakin Permaisuri akan selalu taat dan setia kepadanya, sehingga menurut pendapatnya permaisuri tidak akan mau berbuat sesuatu yang memalukan Istana.
Pada suatu hari, ketika peringatan hari jadi Baginda Raja, diadakanlah pesta besar di Istana, maka Isteri muda diajaklah datang ke Istana. Isteri muda ini mengatakan bahwa ada firasat yang mengatakan kurang baik jika ia ikut ke Istana, tetapi karena perasaannya juga mengatakan tidak baik kalau dia juga tidak hadir di Istana, apalagi Baginda Raja terus mendesak dan mengatakan dengan pasti bahwa tidak akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, maka si Isteri muda antara segan dengan tidak, dia harus juga hadir di Istana.
Permaisuri juga sudah menduga bahwa madunya pasti hadir di Istana untuk mengikuti Acara Besar Hari Jadi Baginda Raja. Dia sudah lama menantikan hari dan kesempatan baik ini, karena dia sudah lama merasa resah di Istana. Sudah banyak kawan karib, handai tolan serta famili dekatnya yang dimintakan ikut membantunya agar Baginda menceraikan madunya itu, tetapi secara tegas tidak ada yang bersedia. Namun demikian, salah seorang Menteri yang termasuk keluarga dekat permaisuri, membisikkan suatu cara kepada Permaisuri agar Baginda Raja bercerai dengan isteri mudanya. Cara itu cukup mantap di hati Permaisuri dan dia yakin benar bahwa cara ini pasti akan berhasil. Dia ingat benar saat madunya diajak oleh Baginda meninggalkan kampung halamannya nun di Hutan Belantara sana, diajak ikut bersama rombongan ke Pagar Ruyung untuk kawin dengan Baginda Raja. Madunya hanya bersedia ikut dan bersedia menjadi Isteri Raja dengan satu syarat tertentu.
Hari yang ditunggu-tunggu, Pesta Besar Hari Jadi Baginda sudah tiba. Para undangan dari negeri yang jauh sudah berdatangan. Si Isteri muda yang punya firasat tidak baik turut mengikuti acara, tetapi merasa tidak wajar bila dia tidak berada di Istana sehingga dengan perasaan penuh bimbang dan ragu-ragu dia datang ke Istana. Begitu dia sampai, langsung mendapat serangan dari Permaisuri. Runtunan kata-kata makian dan sumpah serapah diterimanya, antara lain Permaisuri mengatakan :
“Jangan masuk ke Istana ini, kau benar-benar kurang ajar. Gara-gara engkaulah kerukunan di Istana menjadi hilang. Benarlah kau turunan Jin (begu), tidak sesuai dengan masyarakat manusia. Turun kau dari Istana ini. Tidak berhak kau menginjak Istana ini”.
Si Isteri muda diam tidak menjawab. Dalam hatinya dia mengaku bahwa sebenarnyalah diajin, tetapi mengapa Permaisuri melanggar janji. Bukankah Permaisuri ikut juga dalam rombongan ketika dia diajak ikut bersama rombongan ke Pagar Ruyung ?
Dalam hati, si Isteri muda berfikir :
“ Baiklah, saya akan pergi sekarang juga. Istana ini bukan tempat saya. Manusia-manusia ini semuanya bukan keluarga saya. Saya adalah Jin dan harus kembali ke tengah-tengah masyarakat jin. Tetapi bagaimana dengan anak manusia yang sedang saya kandung dalam perut saya ini ?
Yah..., anak saya tidak bersalah dan saya juga tidak bersalah.
Yah ..., anak saya adalah anak yang baik, karena itu pasti akan diterima secara baik oleh masyarakat”.
Si Isteri muda mencari pengawaldan mendekatinya. Kepada Pengawal dia membisikkan :
“ Tolong sampaikan kepada Baginda Raja, suami saya. Permaisuri sudah melanggar janjinya kepada saya. Saya pergi bersama anak saya, meninggalkan Istana dan Kerajaan untuk selama-lamanya.”
Segera sesudah ucapannya habis, dia langsung menghilang. Pengawal jadi heran dan membisu seribu bahasa. Orang lain yang dekat dengan pengawal tersebut sempat mendengar ucapan itu, lalu menyuruh pengawal menyampaikannya kepada Baginda Raja. Begitu laporan sampai kepada Baginda Raja, Baginda langsung memerintahkan untuk melakukan pencarian.
Regu pencari bergerak ke segala arah, tetapi tidak kelihatan lagi. Akhirnya sampailah ke Perbatasan Kerajaan, arah datangnya dulu ada yang melaporkan bahwa ada seorang wanita cantik lari dengan cepat kearah hutan. Baginda Raja memerintahkan pencarian sampai dapat. Sehingga Pesta Hari Jadi yang seharusnya cukup khidmat menjadi Pesta Hari Mencari. Seluruh kerajaan diperintahkan melakukan pencarian.
Sesampainya regu pencari di Perbatasan, mereka sudah kehilangan pedomanke arah mana selanjutnya dilakukan pencarian, tetapi kemudian mereka memperhatikan bahwa ditengah hutan tersebut ada bunga-bunga yang seolah-olah ditanam berjajar. Ternyata ketika datang setahun yang lalu, anak Gadis itu secara terus menerus menaburkan bunga yang dipetiknya sepanjang jalan, mulai dari kampung halamannya sampai ke Kerajaan Pagar Ruyung. Dan sekarang, ini jugalah sebagai pedoman bagi dia untuk pulang ke kampung halamannya.
Regu pencari terus mengikuti barisan bunga-bunga itu. Para pencari telah bertekad bulat untuk mencari sampai dapat, tetapi ternyata wanita itu sudah jauh.
Pencarian sudah dilakukan tiga hari tiga malam. Sekarang hujan terus menerus turun. Wanita yang dikejar sekarang telah berada ditepi sungai yang sedang banjir. Dia kehilangan akal, karena sungai tidak dapat diseberangi sedangkan jika pulang ke belakang takut berjumpa dengan regu pencari. Dalam suasana yang sangat letih, dia berdoa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, semoga perjalanan bersama anak yang sedang dikandungnya selamat dan selalu mendapat lindungan dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Segera setelah dia berdoa, dilihatnya ada sebatang kayu besar sedang hanyut dari hulu dan tepat didepannya batang kayu besar itu tersangkut dan menghempang sungai dari tepi ke tepi yang lainnya. Dengan penuh keberanian dia melompat keatas batang kayu itu dan selamat sampai di seberang. Begitu dia sampai diseberang, regu pencari sudah sampai. Seorang dari mereka berusaha mencapai batang kayu tersebut untuk segera menyeberang dan menangkap si perempuan, tetapi batang kayu telah hanyut, sehingga si prajurit pencari tidak dapat menyeberang. Air sudah meluap, banjir semakin mengganas, sehingga tidak seorangpun dari regu pencari dapat menyeberangi sungai itu.
“Batang anak gadis itu sudah hanyut, kita tidak bisa lagi ke seberang” kata salah seorang prajurit.
Sejak saat itu sungai besar itu dinamakan Aek (sungai) Batang Gadis sampai sekarang.
Beberapa orang prajurit masih sempat melihat dari kejauhan perempuan itu meniti batang kayu yang besar tersebut lalu pergi ke seberang sungai, tetapi begitu mereka sampai ditepi sungai, perempuan itu sudah tidak kelihatan lagi. Ternyata dia telah melihat regu pencari itu telah tiba sehingga dia mencari tempat persembunyian.
Regu pencari kembali ke Istana dengan sia-sia. Mereka pulang karena mereka sudah pesimis tidak dapat berjumpa dengan Isteri muda Raja, terutama keadaan hujan yang tiada reda dan banjir yang terus bertambah besar.
Raja Pagar Ruyung satu-satunya Raja besar di Pesisir Barat Sumatera kini menerima kenyataan. Perjanjian yang harus ditepati ternyata dilanggar sendiri. Bukan oleh pribadi Baginda Raja, tetapi suatu kenyataan Baginda Raja tidak bertanggung jawab penuh sebagai Pemimpin Istana.
Permaisuri tidak pandai mengambil hati Baginda, Isteri yang disayangi sudah hilang dan membawa anak yang belum dikenal karena belum lahir. Kecurigaan Baginda Raja kepada Menteri mulai timbul. Demikian juga kepada para pengawal dan staf lainnya. Baginda bermaksud untuk mengadakan pembersihan aparatur di tubuh kerajaan.
Fikiran Baginda Raja menjadi kacau. Belum diperolehnya data yang lengkap siapa sebenarnya yang menghasut Permaisuri sehingga Permaisuri berani melanggar janji, yang berarti menusuk jantung Baginda Raja, yang berarti juga akan menggaggu kestabilan pemerintahan kerajaan. Pada akhirnya Baginda Raja jatuh sakit.
Si isteri muda dengan selamat sudah sampai di Kampung halamannya. Dia menjumpai orang tuanya, famili dan handai tolan yang ditinggalkannya sekitar setahun yang lalu tanpa pernah mengadakan kunjungan. Dia meminta agar diterima kembali ditengah mereka sebagai anggota masyarakat mereka. Tetapi dengan tegas mereka menjawab bahwa mereka tidak bersedia menerima dia kembali selama dalam perutnya masih ada anak manusia, apalagi kepergiannya dahulu tanpa seizin orang tuanya, famili dan kaum kerabat. Demikianlah, untuk kembali ke masyarakat mereka, dia harus sabar menunggu kira-kira dua bulan lagi, karena anak yang dalam kandungannya masih berusia sekitar 7 bulan.
Anak yang sudah 7 bulan dalam kandungan ini meminta dia lebih banyak berusaha untuk mencari makan, menyebabkan hampir sepanjang hari dia tiada henti-hentinya pergi kesana kemari didalam hutan untuk mencari makanan tanpa bergaul dengan sesama jin dan juga kepada manusia. Dia memakan apa adanya saja, apa yang diperolehnya didalam hutan. Hari berganti hari, dia hidup sendirian dalam hutan sambil menunggu kelahiran bayinya.
Sudah dua bulan dia hidup terasing dalam hutan tanpa bergaul dengan siapa pun. Dia banyak mengingat Tuhan sembari berdoa semoga dia dan anak yang dikandungnya selamat, selamat anak yang dilahirkan, selamat anak kembali ke pangkuan masyarakat manusia dan dia selamat kembali ke tengah-tengah masyarakat asalnya yaitu masyarakat jin.
Anaknya pun lahir dengan selamat. Pakaian yang dibawanya dari Pagar Ruyung diselimutkannya kepada anaknya itu dan berfikir makanan apa yang akan diberikannya kepada anaknya itu. Dia memandang sekeliling dengan mengharap kiranya ada buah-buahan yang dapat diraihnya untuk penambah air susunya yang diberikannya kepada anaknya. Kebetulan dia bersama anaknya berteduh dibawah pohon jambu, tetapi tidak sedang berbuah. Dia segera berdoa kepada Tuhan : “Ya Tuhan, ampunilah saya andaikata saya ada lupa dan salah dan buatlah jambu ini berbuah, jika seandainya anak saya ini perlu hidup untuk manusia”
Setelah dia habis berdoa, jambu itu segera berbuah dengan buah yang besar dan masak, merunduk sehingga si Ibu dapat mencapai lalu memetiknya. Dimakannya buah jambu itu, disusukannya anaknya kemudian diperasnya buah jambu itu kemudian airnya diberikannya kepada anaknya. Sejak saat itu maka Nasution yang laki-laki dikatakan orang “Bayo Jambu” dan nasution yang perempuan dikatakan orang “Boru Jambu”.
Sesudah anak itu disusukannya dan diberinya air jambu, dilampininya dengan baik dengan menggunakan kain yang dibawanya dari Pagar Ruyung, diletakkannya di atas sebuah batu ditengah hutan, lalu dia serahkan kepada Tuhan. “ Ya Tuhan, anak manusia yang saya kandung selama ini, telah Kau lahirkan dengan selamat. Saya juga telah Kau buat dalam keadaan sehat wal afiat. Izinkanlah saya berpisah dengan anak saya ini, supaya saya kembali ke tengah-tengah kaum famili saya. Jadikanlah anak saya ini anak yang sakti dan berguna bagi masyarakat manusia”
Sehabis kata-kata penyerahan ini, dipeluk dan diciumnya anaknya, lalu dengan air mata berlinang-linang mulutnya komat-kamit mengucapkan kata-kata perpisahan :
“Anakku, sampai sekian saja pertemuan kita. Tinggallah engkau anakku, karena engkau adalah anak manusia, anak Raja. Semoga engkau lekas besar dan bertemu kembali dengan manusia. Tinggallah engkau anakku, Ibu pergi ke tengah-tengah famili ibu, berpisah untuk selama-lamanya.”
Anak itu diletakkannya diatas sebuah batu besar ditengah hutan belantara kemudian dia pun pergi.